PCIM Malaysia - Persyarikatan Muhammadiyah

PCIM Malaysia
.: Home > Artikel

Homepage

Membina Intelektual, Melahirkan Ulama

.: Home > Artikel > Pimpinan Pusat
29 Februari 2012 16:02 WIB
Dibaca: 3219
Penulis : M. Arifin Ismail, Ketua PCIM Malaysia

“ Allah akan mengangkat orang yang beriman dan mempunyai ilmu diantara kamu beberapa derajat “

( QS. alMujadilah : 11  )

Pada hari selasa, 28 februari 2012, di hotel Grand Sahid dideklarasikan sebuah ormas baru yang bernama Majelis Intelektual dan Ulama Muda Islam Indonesia, dengan ketuanya Dr.Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil dan sekjen Bachtiar Nasir,Lc. Munculnya organisasi tersebut adalah sebuah respon untuk menghimpun intelektual dan ulama-ulama muda yang ingin bekerjasama dalam memberikan solusi kepada keadaan bangsa dan umat Islam dengan landasan ilmu. Banyak persoalan umat Islam akhir-akhir ini dikomentari secara emosional atau sepihak dan tidak diselesaikan melalui ilmu , padahal jika isu dan persoalan umat diselesaikan dengan ilmu, diharapkan dapat menghilangkan perselisihan dan pertengkaran, serta persoalan tersebut dilihat dari solusi ilmu pengatahuan yang dapat menghargai pendapat dari kelompok lain yang berbeda. Disinilah diperlukan kearifan seorang ulama dalam menyelesaikan persoalan umat, sebagaimana dinyatakan dalam pintu gerbang universitas cardova pada waktu dulu : Persoalan umat dapat diselesaikan dengan kearifan ulama, keadilan penguasa, doa orang yang saleh, dan keberanian kestaria.

Dalam sejarah umat Islam, peran ulama dalam memimpin dan menegakkan kebangkitan Islam sangat penting. Islam sejak awal menekankan pentingnya ilmu dan kepemimpinan ulama ( ulama warasatul anbiya : ulama pewaris  nabi ) dalam rangkan  menjaga kemurnian agama ( harasatuddin ) dan mengelola dunia dengan petunjuk syariah ( siayasatuddunya bihi ) dalam bentuk amar makruf dan nahi munkar secara kmprehensiof dan tersistem. Sejarah mencatat bahwa gerakan kebangkitan dan koreksi terhadap kondisi umat selalu dimulai dan dikawal oleh ulama. Rasulullah mendidik sahabat generasi perdana dari rumah Arqam bin Abi Arqam di kota Makah. Sewaktu hijtrah ke Madinah, sahabat anshar muhajirin dididik di “madrasah” Masjid Nabawi dan lebih dikhususkan lagi dib alai “ ahlussufah “ yang sekarang berada di samping makam Rasulullah. Dalam perkembangan selanjutnya, berpindahnya sahabat yang merupakan ulama-ulama generasi pertama di beberapa kota seperti Makah, Madinah, Kufah, Damascus, yaman, Mesir, dan Baghdad, menghidupkan intelektual tabiin dan tabiut tabiin dalam ilmu, sehingga berkembangnya islam sejalan dengan perkembangan islam di seluruh kawasan. Setelah tabiut tabiin,   muncul  imam mazhab, seperti Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik ( 93-179H), Imam Syafii (150-204H),Ahmad bin Hanbal (164-241) yang mengembangkan ilmu fikaih secara metodologis dan sistemastis, sehingga memudahkan masyarakat dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam system kehidupan.

Pada waktu berkembangnya pemikiran luar yang dapat mempengaruhi pemahaman ajaran Islam, seperti  pemikiran literalis yang dikembangkan oleh kelompok khawarij, pemikiran liberal - muktazilah yang dipengaruhi oleh logika dan filsafat yunani, pemikiran syiah yang mengagungkan keturunan nabi, pemikiran batiniyah yang hanya mementingkan batin dan spititual daripada amal ritual , maka ulama melakukan upaya memelihara pemahaman akidah islam dengan melahirkan manhaj “ ahlusunnah waljamaah” dalam akidah dan teologi, yaitu memahami akidah dalam kerangka ilmu berdasarkan kepada pemahaman salafussaleh, sebagaimaan dinyatakan oleh Abul Hasan Asy’ari bahwa dia kembali mengikuti jalan (manhaj) pemahaman islam yang dilakukan oleh Imam Hanbal, ulama mazhab yang terakhir. Munculnya “manhaj ahlussunnah wal jamaah “ adalah upaya ulama salaf untuk membentengi akidah umat islam dari serangan pemikiran muktazilah, khawarij, syiah, batiniyah dan aliran sesat lain yang sedang berkembang pada waktu tersebut.

Selanjutnya perkembangan khilafah islam diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga zaman keemasan islam di Baghdad melahirkan ilmuwan dan ulama islam yang sekian banyak, yang dihasilkan oleh masjid, perpustakaan, madrasah dan jamiah (perguruan tinggi islam ) yang mempunyai prestasi kelimuan yang cemerlang sehingga melahirkan Ibnu Sina, alFarabi, alKhawarizmi, alBatany, alBiruni, Imam Ghazali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Fakhrurrazi, dan lain sebagainya. Demikian juga pusat-pusat ilmu di Granada melahirkan Ibnu Khaldun, Ibnu Hazam, dan lain sebagainya. Para ulama zaman dahulu, jika melihat adanya penyimpangan dan kerancuan berpikir dan beramal dalam masyarakat segera mengeluarkan risalah, kitab , yang menjelaskan penyimpangan tersebut dan memberikan pemahaman kepada masyarakat kesalahan ajatran dan mengembalikan kepada pemahaman berdasarkan ilmu pengetahuan. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Imam Ghazali dengan kitab “Tahafut falasisah “ yang menjelaskan kesalahan filsafat yunani, dan kitab “ Fadhaih batiniyah “ yang menjelaskan tentang kesalahan pemahaman ajaran yang dilakukan oleh kelompok batiniyah. Demikian juga IbnuTaimiyah menulis buku “naqdul mantiq “ dan “radd alal mantiqiiyin “ untuk meluruskan pemahaman filsafat yunani, dan “aljawabussahih liman baddala dinil masih “ yang menjelaskan tentang kesalahan agama nasrani, dan lain sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan oleh ulama nusantara terdahulu seperti Syekh Nuruddin arRaniri, Syekh Abdurauf singkil yang dikenal dengan Syiah Kuala, Syekh Nawawi Bantani, Syekh Abdusamad Falimbani, Syekh Daud Fatani, yang melahirkan karya ilmu yang menjadi rujukan masyarakat dalam memahami agama, sehingga para ulama terdahulu dikenal masyakarat karena ilmu yang ditulis dalam karya ilmiahnya, dan memberikan solusi ilmu bagi persoalan yang berkembang dalam masyarakat.     

Pada saat sekarang ini, ditangah  banyaknya persoalan umat, dan berkembangnya ajaran sesat serta serangan pemikiran barat seperti pemikiran liberalism agama (kebebasan berpikir tanpa batas dalam memahami ajaran agama),serangan faham pluralisme agama (pengakuan terhadap persamaan agama ), pemikiran kesamarataan gender antara hak lelaki dan perempuan (feminism ) dan relativisme ( pemahaman bahwa tidak ada kebenaran mutlak, sehingga semua pendapat dapat dianggap benar ), maka masyarakat memerlukan jawaban, penjelasan yang berdasarkan kepada ilmu pengetahuan, berdasarkan  riset lapangan dan jawaban yang berdasarkan kitab alQuran, Hadis dan kitab-kitab turas ulama terdahulu, bukan lagi berdasarkan pengamatan sepihak, atau analisa pembaca , artis, politisi, dan lain pihak yang tidak mempunyai kompetensi keilmuan yang mapan. Ditambah lagi dengan adanya dunia maya tanpa batas, dimana setiap orang dapat mengakses segala tulisan yang terdapat dalam internet tentang sesuatu hokum, sehingga dapat berakibat terjadinya kerancuan sumber rujukan sebab setiap orang baik itu pakar atau bukan pakar, dapat menulis dalam dunia maya dan dapat diakses oleh setiap orang dimana saja dia berada. Untuk itu masyarakat memerlukan tulisan, kajian yang mempunyai rujukan ilmu dari mereka yang mempunyai otoritas keilmuan sehingga masyarakat terhindar daripada rujukan yang salah dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam.

Untuk merealisasikan “ fas’ali ahladz dzikiri “ tanyalah kepada ahlinya ( orang yang pakar dibidangnya dalam masalah keagamaan) maka dibentuklah Majelis intelektual dan ulama tersebut, sehingga memudahkan masyarakat dalam mencari jawaban atas problematika umat yang sedang betrkembang, sebagai alternative bagi kebebasan pendapat yang berkembang dalam masa apalagi dengan adanya kolom “citizen journalism” (siapa saja boleh menulis ) dalam media, internet, blog, dan lain sebagainya.

Sudah saatnya kita membangun masyarakat yang beradab dengan menampilkan ulama yang berbicara dengan ilmu dan wawasan yang luas, bukan dengan dakwah intertainment yang lebih banyak hanya menghibur daripada menyadarkan. Sudah saatnya kita melihat kepada kualitas umat yang beramal dengan amalan yang benar, bukan sibuk dengan seremonial  yang emosional. Sudah saatnya khutbah jumat mengajak masyakat kepada kesadaran beragama bukan kepada agitasi emosional tanpa membangun logika berpikir yang benar.  Sudah saatnya dakwah disampaikan dengan hikmah, teladan dan pelayanan, sehingga dapat mengangkat masyarakat dari kejahilan ilmu, kerancuan ilmu, dan kerusakan moral serta kerakusan material, menuju masyarakat yang lebih beradab. Fa’tabiru Ya Ulil albab. (red: NlH)


Tags: PCIM , Cabang , Istimewa , KualaLumpur , Malaysia , buletin , Ulama , Intelektual
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Buletin Jumat

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website