PCIM Malaysia - Persyarikatan Muhammadiyah

PCIM Malaysia
.: Home > Artikel

Homepage

Undang-Undang Gender dan Hukum Agama

.: Home > Artikel > Pimpinan Pusat
11 April 2012 17:48 WIB
Dibaca: 3775
Penulis : M. Arifin Ismail, Ketua PCIM Malaysia

“ Apakah hukum jahiliyah yang kamu inginkan “ ( QS. Al Maidah : 50)

Pada waktu undang-undang perceraian di Mesir di sahkan atas landasan persamaan Gender, dimana undang-undang membolehkan seorang istri menjatuhkan cerai kepada suami-suami mereka, maka sejak diundangkannya undang-undang tersbeut sampai tahun 2009 telah terdapat 12.000 orang suami di Mesir yang diceraikan oleh istri-istri mereka, sehingga suami yang diceraikan tersebut tersebut membentuk sebuah organisasi bekas suami yang menuntut kepada Mahkamah Mesir, dan Lembaga Fatwa Al Azhar untuk merubah undang-undang tersebut. Inilah akibat jika undang-undang persamaan gender diterapkan dalam hukum perceraian, sehingga perempuan mempunyai hak menceraikan suami, walaupun hukum fikih melarang hal yang demikian.

Demikian juga di India, kelompok Islam Liberal telah melakukan sebuah pernikahan yang dilakukan oleh wali perempuan terhadap calon pengantin perempuan, sehingga akad nikah diucapkan dengan ucapan dari seorang wali perempuan : Aku nikahkan engkau ( calon pengantin perempuan ) dengan si fulan ( calon pengantin lelaki ) “. Perkawinan tersebut disahkan oleh dua orang saksi perempuan. Ini semua dilakukan akibat hukum persamaan gender diberlakukan, padahal wali perempuan dalam syariat Islam tidak berhak melakukan akad pernikahan, sebab wali yang mempunyai hak adalah wali lelaki. Demikian juga dalam hukum fikih perkawinan muslim sepatutnya akad nikah dilakukan wali kepada pengantin lelaki bukan kepada pengantin perempuan.  Saksi perkawinan juga yang disyaratkan lelaki dari dua keluarga dirubah menjadi wali perempuan. Tanpa disadari gerakan persamaan gender telah merubah hukum-hukum fiqih yang baku yang telah ditetapkan oleh nash agama. Dengan kata lain, jika hukum persamaan gender ini diberlakukan secara menyeluruh, maka semua hukum fiqih akan dirubah sebab dalam agama Islam, khususnya dalam hukum fikih banyak syarat yang hanya dapat dilakukan oleh lelaki sahaja, seperti  syarat perwalian, syarat menjadi imam shalat jamaah jumat, dan lain sebagainya.

Dalam waktu dekat ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia akan membahas Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender ( RUUKKG) yang akan menjadi acuan hukum bagi bangsa Indonesia.  Dalam Draft RUU KKG yang disebarkan kepada masyarakat untuk mencari masukan, pendapat, terdapat beberapa poin yang dapat merubah tatanan sistem keluarga dan hukum keluarga bagi masyarakat muslim. Sebab jika undang-undang tersebut disetujui oleh anggota dewan dan disahkan, maka dapat menjadi landasan hukum bagi pelanggaraan hukum fikih keluarga, seperti hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum faraid dan harta warisan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam suatu agama.

Dalam Draft RUU KKG tersebut tertulis : “ Gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnyantidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya “ ( pasal 1 : 1 ).

Dalam kalimat “ gender adalah pembedaan peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kontruksi budaya yang sifatnya tidak tetap “  tersebut diatas sangat membahayakan hukum agama Islam, sebab dalam agama Islam perbedaan hukum terhadap lelaki dan perempuan merupakan hukum yang bersifat tetap dan tidak dapat dirubah-rubah sebab perbedaan hukum  berdasarkan kepada nash-nash dari al Quran dan Hadis Nabi, bukan berdasarkan perubahan masyarakat.

Sebagai contoh, hukum imam shalat jumat dan khatib adalah lelaki tidak dapat dirubah, walaupun dalam suatu masyarakat tertentu dalam suatu masyarakat nanti jumlah lelaki lebih sedikit dari jumlah wanita, sebab hukum imam shalat jumat bukan berdasarkan perubahan kondisi masyarakat. Dalam pembagian harta warisan tetap bagian lelaki dua kali bagian perempuan, walaupun si perempuan lebih miskin daripada si lelaki. Oleh sebab itu pembagian warisan, kedudukan imam shalat jumat tidak dapat dirubah dan dikaji apalagi disesuaikan dengan perubahan masyarakat sebagaimana yang termaktub dalam rancangan undang-undang kesetaraan dan keadilan gender tersebut.

Bayangkan, jika undang-undang tersebut diluluskan dan menjadi undang-undang Negara, maka seorang  perempuan berhak meminta dan diangkat menjadi imam shalat jumat, atau meminta hukum waris yang sama dengan lelaki, dan lembaga , institusi atau individu yang melarang perempuan untuk menjadi imam shalat jumat, atau menjadi wali bagi  perkawinan, atau melarang seorang perempuan menceraikan suaminya dapat dikenai tindakan criminal, dan dapat dihukum, sebab dalam pasal 70 RUU KKG tertulis : “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsure pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …(…)tahun dan pidana denda paling banyak Rp…(…)”. Berarti , jika seorang anak perempuan tidak mendapatkan warisan yang sama, berarti dia dapat melaporkan si pembagi waris kepada polisi dan ditindak pidana. Demikian juga jika ada yang melarang wanita menjadi imam shalat jumat, maka orang yang melarang akan terkena hukum pidana. Demikian juga jika keluarga melarang istri menceraikan suaminya, maka keluarga yang melarang akan terkena tindakan pidana. Jika ada orangtua yang melarang anak perempuannya kawin dengan lelaki non-muslim, atau kawin dengan sesame jenis, maka orangtua terwebut akan terkena hukum penjara atau pidana denda, dan demikian seterusnya.

Dalam Draft Undang-Undang tersebut segala usaha yang membedakan peran antara lelaki dan perempuan merupakan tindakan diskriminasi sebagaimana disebutkan : “ Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan  atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki “ ( pasal 1 : 4 ) “.

Jika Rancanga Undang-undang ini disahkan maka aplikasi hukum tersebut akan merusak tatanan hukum-hukum setiap agama yang menjalankan konsep agama yang bertentangan dengan prinsip kesamaan gender. Contoh, jika seorang muslim membagi harta warisan yang tidak sama antara lelaki dan perempuan, maka muslim tersebut telah menakukan diskrimasi gender. Jika institusi agama melarang wanita muslimah kawin dengan lelaki non-muslim, maka pihak agama telah melakukan diskriminasi gender. Demikian juga jika istri tidak diperbolehkan poligami sedangkan suami dibolehkan maka itu merupakan diskriminasi gender, dan lain sebagainya.

Sebenarnya undang-undang  persamaan dan keadilan gender ini adalah untuk masyarakat atheis yang tidak memiliki hukum agama, atau untuk masyarakat barat yang trauma terhadap penindasan perempuan yang dilakukan oleh gereja masa lalu sebagaimana dikatakan oleh St.John Chrysostom (345-407M) : “ Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik “. Sedangkan dalam Islam wanita adalah hamba Allah yang terhormat dan mulia, sehingga seorang muslim dianjurkan untuk menghormati ibunya terlebih dahulu daripada ayahnya, sebagaimana diceritakan oleh Abu hurairah bahwa ada seseorang bertanya kepada nabi : kepada siapakah aku berbuat baik, maka nabi menjawab kepada Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu baru kemudian kepada ayahmu ( hadis sahih riwayat Bukhari Muslim ) . Demikian juga sewaktu nabi ditanya apakah ganjaran bagi perempuan yang tinggal dirumah sedangkan suami berjihad, dan bekerja , maka nabi menjawab bagi perempuan tersebut pahala sebagaimana pahala yang didapat oleh suaminya ( hadis riwayat Thabrani ) dan Rasulullah memberikan  bagi istri unyuk memasuki pintu mana saja daripada surge jika istri tersebut  mendirikan shalat, menjaga dirinya dan taat kepada suaminya ( hadis sahih riwayat Ibnu Hibban ) . Perbedaan wanita dan gender dalam Islam bukan hanya dalam pandangan dunia, tetapi mempunyai akibat terhadap kehidupan akhirat kelak. Oleh sebab itu umat islam dan umat beragama diharapkan menolak Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender tersebut sebab undang-undang tersebut tidak sesuai untuk masyarakat religius, dan bagi ahli parlemen harus sadar bahwa jika undang-undang tersebut disahkan berarti parlemen telah membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Allah..Fa’tabiru Ya Ulil albab.


Tags: PCIM , Cabang , Istimewa , KualaLumpur , Malaysia , Buletin , Gender , Hukum , Syariah
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Buletin Jumat

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website